Bukan hanya dari kalangan akademisi atau politisi yang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan di Lombok. Akan tetapi pengaruh dari kalangan agamawan pun ikut menyumbangkan sumbangsih yang sangat besar terhadap perkembangan dari berbagai aspek baik sosial, politik, kebudayaan dan agama di Lombok. Peran ulama di Lombok hampir tidak dapat dipisahkan dari perkembangan bangsa Indonesia.
Berikut 3 ulama yang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan di Pulau Lombok.
1.
Dr. K.H. TGH. Muhammad Zainul Majdi, M.A
Nama Lengkap : Dr. K.H. TGH. Muhammad Zainul Majdi, M.A
Profesi : Gubernur Nusa Tenggara BaratTempat Lahir : Jakarta, Indonesia
Tanggal Lahir : 31 Mei 1972
Tempat Lahir : Pancor, Selong Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Indonesia
Alma Mater : Universitas Al-Azhar Kairo
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia
Istri : Hj. Robiatul Adawiyah - Erica Panjaitan
Dr. K.H. TGH. Muhammad Zainul Majdi, M.A Merupakan Gubernur Nusa Tenggara Barat 2 periode, masa jabatan 2008-2013 dan 2013-2018. Pada periode pertama dia didampingi oleh Wakil Gubernur Badrul Munir dan pada periode kedua didampingi oleh Wakil Gubernur Muhammad Amin.
Sebelumnya, Majdi menjadi anggota DPR RI masa jabatan 2004-2009 dari Partai Bulan Bintang yang membidangi masalah pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian dan kebudayaan (Komisi X).
TGH. Muhammad Zainul Majdi adalah putra ketiga dari pasangan HM Djalaluddin SH, seorang pensiunan birokrat Pemda NTB dan Hj. Rauhun Zainuddin Abdul Madjid, putri dari TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid (Tuan Guru Pancor), pendiri organisasi Islam terbesar di NTB, Nahdlatul Wathan (NW) dan pendiri Pesantren Darun-Nahdlatain .
Pada tahun 1997 Majdi menikah dengan Hj. Robiatul Adawiyah, SE, putri KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i, pemimpin Ponpes As-Syafiiyah, Jakarta. Pernikahan cucu ulama besar di NTB TGH. KH. Zainuddin Abdul Majid dan cucu ulama besar kharismatik Betawi itu telah dikaruniai 1 putra dan 3 putri, yaitu Muhammad Rifki Farabi, Zahwa Nadhira, Fatima Azzahra dan Zayda Salima.
Pada tanggal 31 Mei 2013, Zainul Majdi mengajukan berkas permohonan talak terhadap istrinya Rabiatul Adawiyah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dengan nomor perkara 1409/pdt.G/2013/PA.Jaksel, dan akan disidangkan mulai bulan Juli. Istri TGH M Zainul Majdi saat ini adalah ibu Erica Panjaitan dan telah dikaruniai seorang putri, Azzadina Johara Majdi
PENDIDIKAN
Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi mengenyam pendidikan dasar di SDN 3 Mataram (Sekarang SDN 6 Mataram), lulus tahun 1986. Ia melewati jenjang SLTP di Madrasah Tsanawiyah Mu'allimin Nahdlatul Wathan Pancor hanya selama 2 tahun, dan lulus Aliyah di yayasan yang sama tahun 1991. Sebelum memasuki perguruan tinggi ia menghafal Al-Qur'an di Ma’had Darul Qur’an wal Hadits Nahdlatul Wathan Pancor selama setahun (1991-1992).
Kemudian pada tahun 1992 Majdi berangkat ke Kairo guna menimba ilmu di Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Universitas Al-Azhar Kairo dan lulus meraih gelar Lc. pada tahun 1996. Lima tahun berikutnya, ia meraih Master of Art (M.A.) dengan predikat "Jayyid Jiddan".
Setelah menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 di Al-Azhar selama 10 tahun, Majdi melanjutkan ke program S3 di universitas dan jurusan yang sama. Pada bulan Oktober 2002, proposal disertasi Majdi diterima. Judulnya, "Studi dan Analisis terhadap Manuskrip Kitab Tafsir Ibnu Kamal Basya dari Awal Surat An-Nahl sampai Akhir Surat Ash-Shoffat" di bawah bimbingan Prof. Dr. Said Muhammad Dasuqi dan Prof. Dr. Ahmad Syahaq Ahmad. Ia berhasil meraih gelar Doktor dengan predikat “Martabah EL-Syaraf El Ula Ma`a Haqqutba” atau Summa Cumlaude pada hari sabtu, 8 Januari 2011 dalam munaqosah (sidang) dengan Dosen Penguji Prof. Dr. Abdul Hay Hussein Al-Farmawi dan Prof. Dr . Al-Muhammady Abdurrahman Abdullah Ats-Tsuluts.
2. TGH Musthafa Umar Abdul Aziz
Di sebuah desa bernama Kapek, Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat berdiri kokoh sebuah masjid tiga lantai yang dikelilingi Pondok Pesantren Al Aziziyah. Itulah buah karya ulama karismatik di Nusa Tenggara Barat, Tuan Guru H Musthafa Umar Abdul Aziz.
Orangtua Musthafa kecil adalah seorang alim yang miskin bernama Umar Abdul Aziz dan Hj Jamilah. Kendati miskin, semangat untuk belajar Musthafa kecil sangat besar. Ia tetap ngotot untuk bisa belajar seperti kawan-kawannya. Tak jarang ia disuruh pulang orangtuanya untuk tidak sekolah lantaran tak ada biaya. Berkat semangat tinggi, ada saja rezeki yang ia dapat semasa belajar.
Hingga akhirnya ia mampu belajar ke Makkah tahun 1976 dan terakhir mendapatkan amanah untuk menjadi guru di Masjidil Haram tahun 1985. “Saya mengajar ilmu Islam di Babul Fattah, Masjidil Haram,” ungkapnya.
Untuk bisa duduk di kursi guru dan mengajar murid dari berbagai belahan dunia di Masjidil Haram bukanlah hal mudah. Sosok guru harus terseleksi melalui berbagai persyaratan yang sangat ketat. Dan Musthafa berhasil melalui semua itu. Musthafa bukanlah cendekiawan yang menghabiskan belajar dibangku formal. Ia banyak menghabiskan masa mudanya belajar dengan para ulama senior di Makkah. Ada 27 lebih guru yang pernah ia ikuti dengan berbagai bidang ilmu yang beragam.
Karenanya ia tak memiliki gelar resmi dari hasil belajarnya. Pernah suatu hari ketika ia mengajar murid-muridnya di Masjidil Haram, usai mengajar ia ditegur oleh mata-mata yang menyamar sebagai murid. “Anda doktor apa magister?”, Musthafa pun menjawabnya dengan tenang, “Saya bukan doktor dan bukan magister. Dalam al-Qur’an dan hadis keduanya tidak ada, tapi hanya ulama warisan dari para nabi,” jawabnya. Lalu keduanya pergi tanpa salam.
Mendengar jawaban itu, kedua mata-mata pun kembali ke kantor dan melaporkannya ke pimpinannya. Tak lama kemudian, Musthafa pun dipanggil menghadap pimpinan. Sang pimpinan bertanya kepada Musthafa, “Taukah kamu siapa yang duduk di majlismu itu, ia adalah mata-mata.” Mendengar pertanyaan tersebut, Musthafa tak gentar, “Saya tidak takut mata-mata, karena ia tidak mengucap salam dulu, tapi tiba-tiba tanya Anda doktor atau magister.
Jika sebab ini saya siap turun berhenti mengajar, apakah saya berhenti mengajar?” tanya Musthafa. Ternyata pimpinan pun menjawab “Tidak, terus-terus.” Akhirnya setelah 15 tahun Musthafa menimba ilmu dan menjadi guru di Makkah, akhirnya ia memutuskan untuk pulang kampung. Satu yang menjadi cita-cita Musthafa adalah mendirikan sebuah lembaga pendidikan tahfidzil Qur’an. Posisi menjadi guru di Makkah pun ia tinggalkan demi membangun desanya menjadi desa pencetak penghafal al-Qur’an dan menjadi lembaga pendidikan Islam yang melahiran generasi Muslim yang berilmu dan beramal.
Tak mudah ternyata berkecimpung di masyarakat. Pasalnya, sejak awal ia sudah dicap sebagai penganut Wahabi yang bertentangan dengan Ahlusunnah Waljamaah. Fitnah dan kecaman ia terima, tapi ia tetap pada niat awal yakni mengabdi untuk mencetak generasi Qur’ani. “Saya biarkan saja fitnah itu akhirnya masyarakat mengerti sendiri,” tuturnya. Sosok Muthafa kini menjadi figur yang menjadi rujukan Tuan Guru di wilayah Lombok.
Setiap hari Ahad waktu hidupnya, ratusan Tuan Guru dari wilayah NTB berkumpul untuk mengaji di rumahnya. Mereka mengkaji hukum-hukum dalam Islam. Tak hanya para Tuan Guru, para masyarakat umum yang haus ilmu Islam juga mendapatkan tempat untuk mengaji kepada Musthafa. “Mereka juga ada yang sudah belajar di Makkah 26 tahun, kini belajar bersama di sini,” ungkapnya. Kini, buah dari kerja keras itu telah berdiri lembaga pendidikan Islam mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. “Saat ini jumlah santri sekitar 1500 orang dan datang dari berbagai daerah di Indonesia,” paparnya. Kini Kapek telah banyak dikenal karena prestasi para santri yang ada di Al Aziziyah.
Para hafidz al-Qur’an setiap tahun lahir dari desa ini. Mereka kini menyebar ke berbagai penjuru wilayah. Bahkan delapan alumninya telah menjadi imam-imam besar di masjid di Qatar, Abu Dhabi dan lainnya. Pada pertengahan tahun 2013 lalu pondok pesantren Al Aziziyah mendapat kunjugan “Safari Al Qur’an” oleh syaikh Fahad Al Kandari. Dan kini beliau telah meninggal dunia pada usianya 86 tahun.
3. TGH Kyai Haji Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd'
Al-Mukarram Mawlānāsysyāikh Tuan Guru Kyai Hajji Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd' dilahirkan di Kampung Bermi, Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 17 Rabiul Awwal 1316 Hijriah bertepatan dengan tanggal 5 Agustus 1898 Masehi dari perkawinan Tuan Guru Hajjī Abdul Madjīd (dia lebih akrab dipanggil dengan sebutan Guru Mu'minah atau Guru Minah) dengan seorang wanita shālihah bernama Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah.[1]
Nama kecil dia adalah 'Muhammād Saggāf', nama ini dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa yang sangat menarik untuk dicermati, yakni tiga hari sebelum dilahirkan, ayahanda dia, TGH. Abdul Madjīd, didatangi dua walīyullāh, masing-masing dari Hadhramaũt dan Maghrabī. Kedua walīyullāh itu secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni "Saqqāf". Dia berdua berpesan kepada TGH. Abdul Madjīd supaya anaknya yang akan lahir itu diberi nama "Saqqāf", yang artinya "Atapnya para Wali pada zamannya". Kata "Saqqāf" di Indonesiakan menjadi "Saggāf" dan untuk dialek bahasa Sasak menjadi "Segep". Itulah sebabnya dia sering dipanggil dengan "Gep" oleh ibu dia, Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah.
Setelah menunaikan ibadah hajjī, nama kecil dia tersebut diganti dengan 'Hajjī Muhammād Zainuddīn'. Nama inipun diberikan oleh ayah dia sendiri yang diambil dari nama seorang 'ulamā' besar yang mengajar di Masjīd al-Harām. Akhlāq dan kepribadian ulamā' besar itu sangat menarik hati ayahandanya. Nama ulamā' besar itu adalah Syaīkh Muhammād Zainuddīn Serawak, dari Serawak, Malaysia.
Al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku ulama' pewaris para Nabi, di samping menyampaikn dakwah bi al-hal wa bi al-lisan, juga tergolong penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuan dia sebagai pengarang ini tumbuh dan berkembang sejak dia masih belajar di Madrasah Shaulatiyah Mekah. Namun karena banyaknya dan padatnya kegiatan keagamaan dan keasyarakatan yang harus diisi maka peluang dan kesempatan untuk memperbanyak tulisan tampaknya sangat terbatas. Kendatipun demikian di tengah-tengah keterbatasan waktu itu, dia masih sempat mengarang beberapa kitab, kumpulan doa, dan lagu-lagu perjuangan dalam bahasa Arab, Indonesia dan Sasak
Nah itulah sekilas tentang para ulama kami yang ada di Lombok. semoga Allah SWT menempatkan para ulama kami di surga bagi yang sudah wafat Amiin dan semoga tulisan ini bermanfaat untuk saya pribadi dan kita semua Amin.